Kisah tewasnya muhammad

Muhammad,
570-632 AD
Penyebab kematian Muhammad tidak
begitu jelas, dan terdapat banyak beda-
versi bahkan diantara periwayatan dari
Wafatnya
sumber Islam yang paling shahih
sekalipun. Diantaranya seperti yang
diriwayatkan dalam Shahih Bukhari,
Sirat Rasul Allah dari Ibn Ishaq, Kitab al-
Tabaqat al-Kabir dari Ibn Sa’d, dan Al-
Tabari. Pandangan tradisional
mengatakan bahwa kematian
Muhammad disebabkan karena diracuni
oleh seorang wanita Yahudi yang
anggota keluarganya dibunuh oleh
Muhammad dalam suatu pembunuhan
massal atas umat Yahudi, kemungkinan
besar adalah Safiya.
Tetapi peristiwa peracunan tersebut
terjadi antara dua-tiga tahun sebelum
kematian Muhammad sehingga sulit
untuk menyimpulkan bahwa racun
tersebutlah yang membunuh
Muhammad setelah sekian waktu
lamanya. Tetapi Muslim tak bisa
membantahnya pula, sebab benar
bahwa Muhammad sendirilah yang
mengetahuinya dan ia mengakui
sakitnya sejak di makan daging domba
beracun di Khaybar.
Muhammad sendiri tidak luput dari
hukum “pedang berbalas pedang.” Ia
kena racun dari perempuan Yahudi yang
ditawannya di Khaybar, dan Allah tidak
menghindarkan atau memunahkan
racun itu dari padanya, seperti yang
diakui oleh Anas bin Malik: “Saya selalu
mengetahui pengaruh racun itu dalam
kerongkongan beliau.” (HS Bukhari 1220).
Aisha menyaksikan betapa Muhammad
menderita, karena sakit keracunan
makanan tersebut disaat-saat kritisnya:
“Hai Aisha! Saya senantiasa merasa
pedih makanan racun yang saya makan
di Khaybar. Itulah waktunya saya
merasa tali jantung saya putus karena
racun itu.” Di balik penderitaan
jasmaninya, harapan dan
permohonannya untuk keselamatan
dirinya di akhirat juga tidak menentu,
karena tidak ada tanda-tanda dijawab
lagi oleh Jibril maupun Allah. Muhammad
hanya bergumul sendirian dengan maut:
“Wahai Tuhan! Ampunilah saya!
Kasihanilah saya dan hubungkan saya
dengan dengan TEMAN yang Maha
Tinggi…” Lalu beliau mengangkat
tangannya sambil mengucapkan:
“Teman yang Maha Tinggi.” Lalu beliau
wafat dan rebahlah tangan beliau. (HSB
1570, 1573, 1574).
Allah memberikan kepada Rasul cara
kematian yang terbaik yang bisa
dibayangkan oleh seorang laki-laki, dia
meninggal dalam pelukan istrinya yang
paling dicintai yaitu Aisha.
Laporan Ibn Hisham, halaman 682:
…. bahwa dia mendengar Aisha
berbicara: “Rasul meninggal diatas
dadaku pada saat giliranku. Adalah
karena ketidak- tahuanku dan gairah
mudaku sehingga Rasul meninggal
dalam pelukanku.”
Diceritakan oleh Aisha pula:
“Dia meninggal pada hari giliranku yang
biasa dalam rumahku. Allah mengambil
dia ketika kepalanya ada diantara dada
dan leherku dan air liurnya bercampur
dengan air liurku.” (Bukhari, Vol 7, Book
62, No. 144)
Air liur saling bercampur? Itu sebuah
misteri. Yang jelas adalah seperti yang
diakuinya bahwa Aisha tidak punya
pengalaman untuk menjaga hal-hal
yang fatal karena kegairahan cinta. Dia
tidak melihat adanya bahaya seorang
tua yang sakit berat bila bergairah
dengan seorang wanita muda. Jantung
Rasul yang sudah tua dan sedang kritis
bisa tidak tahan sampai timbul cardiac
arrest (jantung berhenti). Aisha melihat
dia mati dan terkulai diatas dadanya,
lalu ia merasa bersalah atas “ketidak
tahuannya”. Tetapi yang lebih celaka lagi
adalah Hadits yang menunjukkan
bahwa Rasul tidak sempat menyebut
kalimat sahadat pada saat terakhirnya
seperti layaknya seorang Muslim.
Dia terkulai dalam pencaharian kosong
akan “Seseorang Maha Tinggi”. Dan
Rasul Allah dibungkus dengan tiga lapis
kain buatan Najran: dua kain dan satu
baju yang dipakai saat kematiannya
(Dawood Book 20, no. 3147).
Abu Bakar datang dan masuk kedalam
mesjid ketika mendengar berita
kematian Muhammad, pada saat itu
didalam mesjid Umar di tengah
kesedihannya sedang khusuk memberi
ceramah dari atas mimbar. Sementara
itu Ali masuk ke rumah Aisha, tempat
dimana jenazah Muhammad diletakkan.
Ia mendekatinya, menyingkap-kan kain
penutup wajahnya dan menciumnya.
Lalu Ali berkata: “Demi ayah dan ibuku,
engkau telah merasakan kematian yang
telah ditakdirkan Allah untukmu, dan
engkau tidak akan lagi menderita
kematian.” Kemudian Ali menutup
kembali wajahnya dan pergi ke mesjid.
Ia mencoba untuk memberikan ceramah
kepada orang-orang, tetapi Umar
bersikeras untuk melanjutkan
ceramahnya. Tetapi ketika Abu Bakar
melihat bahwa Umar tidak juga berhenti
berbicara, ia sendiripun mulai berbicara
menyela Umar. Disana Abu Bakar
berterima kasih kepada Allah lalu
berkata kepada orang banyak: “Kepada
mereka yang memuja Muhammad,
sekarang Muhammad telah meninggal.
Tetapi mereka yang memuji Allah, Allah
tetap hidup dan tidak akan pernah
mati.” (The life of the Prophet oleh
Muhammad bin Abd Al-Wahab, hal.145).
Kematiannya datang begitu cepat dan
tidak memberi kesempatan sedikitpun
buat dia untuk menyelesaikan semua
urusannya. Dia tidak pernah
menghimpun dan menyusun pelbagai
berkas wahyu yang diterimanya agar
dapat dijadikan sebuah kitab Al Qur’an
dalam susunan/urutan asli yang
bagaimana yang seharusnya sama
dengan yang tertulis di surga. Dia tidak
pernah menyiapkan pemimpin
pengganti dirinya, dia juga tidak pernah
menetapkan tata birokrasi pemerintahan
apapun yang harus dijalankan
penerusnya setelah dia meninggal.
Pendek kata, Muhammad menjelang
kematiannya tidak mampu mengurus
keumatan dan ke-islaman samasekali.
Ia hanya mengurus dirinya agar
diampuni dosanya dan minta
dihubungkan dengan satu Temannya
yang Maha Tinggi, yang dipercaya
adalah Sosok yang paling berotoritas
dalam alam Akhirat dan Hari
Penghakiman (lihat surat 3 :45; 4:159;
43:61). Siapa sosok yang satu ini
menjadi perdebatan diantara pakar
Islam sendiri. Ada yang
menginterpretasikannya sebagai Jibril,
ada yang menunjukkan siapa yang
pernah diklaim Muhammad sendiri
sebagai temannya yang paling dekat
diakhirat, “Saya yang lebih dekat
dengan Isa anak Maryam didunia dan
akhirat” (HSB 1501).

Tinggalkan komentar